Ilmu dan teknologi selalu berkembang. Banyak diantaranya
yang digunakan untuk kesejahteraan manusia. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi
juga memberikan kemudahaankemudahaan diantaranya:
1.Dalam
bidang komunikasi : dengan semakin banyaknya orang menggunakan telephone, tv,
satelit, computer, semakin cepat informasi dapat diperoleh
2.Dalam
bidang kesehatan : dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, semakin
banyak cara penngobatan yang semakin cepat.
Masih banyak lagi keuntungan
yang dapat diperoleh manusia dengan adanya perkembangan teknologi, tetapi pada
dasarnya tiap pengoperasian suatu penemuan baru, tiap inovasi tidak disambut
gembira oleh sebagian lapisan masyarakat. Perlu adanya tahapan-tahapan yaitu :
tahapan pengenalan, tahapan penyesuaian diri terhadap penemuanbaru, dan situasi
baru, ini suatu hukum alam. Tahapan penbaru, dan situasi baru, ini suatu hukum
alam. Tahapan penyesuaian atau adaptasi bisa berjalan dengan cepat, bisa juga
lambat tegantung masing-masing orang. Jikaakhirnya orang tersebut sudah
terbiasa, maka hal yang baru tersebut dikatakan telah memasyaraka atau telah
membudaya.
Karena peningkatan
usaha pembangunan maka akan terjadi pula peningkatan penggunaan sumberdaya untuk
menyokong pembangunan dan timbulnya permasalaha-permasalahan dan linngkungan
hidup manusia.
Dalam
pembangunan sumber alam merupakan sumber penting dimana sumberalam ini merupakan
kebutuhan azasi bagi kehidupan. Dalam pembangunan sumber daya alam tadi, hendaknya
keseimbangan ekosistem tetap terpelihara. Seringkali karena meningkatnya
kebutuhan akan hasil proyek pembangunan, keseimbangan ini bisa tergangu, yang
kadang-kadang bisa membahayakan hidup umat.
Proses
pembengunan memiliki akibat-akibat yang lebih luas pada lingkungan hidup
manusia, baik akibat langsung maupun akibat sampingan seperti pengurangan
sumber daya alam secara kuantitatif, pencemaran biologis, pencemaran kimiawi,
gangguan fisik dan ganguan social budaya.
Kerugian-kerugian
dan perubahan-perubahan terhadap lingkungan perlu diperhitungkan dengan
keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu obyek pembangunan. Baru setelah
disusun pedoman-pedoman kerja yang jelas bagi pelbagai kegiatan pembangunan
baik berupa industri maupun bidang lain, yang memperhatikan factor lingkungan
hidup manusia.
Sumber:
Santoso, Budi, 1999,ilmu
lingkungan industri,
universitas gunadarma,Jakarta.
Industri
merupakan rumah pembuatan suatu produk, pembuatan suatu pruduk akan
menghasilkan limbah, limbah dapat merusak lingkungan. Namun bila pada industri
tesebut memiliki system pengolahan limbah yang baik tentunya limbah produksi
bukan masalah lingkungan.
Walaupun
telah digariskan oleh pemerintah bahwa dalam peningkatan pembangunan industri
hendaknya jangan sampai membawa akibat rusak lingkunga hidup, dalam kenyatannya
yang lebih diperhatikan dalam pembangunan industri sekarang adalah
keuntungan-keuntungan dari hasil produksinya. Sedikit sekali pehatiaan terhadap
masalah lingkungan, sehingga pendirian industri tersebut akan mengakibatkan
pencemaran lingkungan oleh hasil buangannya yang kadang-kadang diabaikan.
Oleh
karena itu perlu adanya perencanaan yang matang pada setiap pembangunan
industri agar dapat diperhitungkan sebelumnya seegala pengaruh aktivitas
pembangunan industri tersebut terhadap lingkunga yang lebuh luas. Dalam
pengambilan keputusan pendirian suatu perindustrian, selain keuntungan yang
diperoleh harus pula secara hati-hati dipertimbangkan masalah kelestarian
lingkungan. Di bawah ini beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan proyek indistri terhadap lingkungan sekitarnya:
1.Evaluasi
pengaruh system ekonomi dan ekologi baik secara umum maupun secara khusus
2.Penelitian
dan pengawasan lingkungan baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang.
Darisini akan didapatkan informasi mengenai jenis perindustrian yang cocok dan
menguntungkan
3.Survey
mengenai pengaruh-pengaruh yang mungkin timbulpada lingkungan
4.Berdasarkan
petunjuk-petunjuk ekologi dibuat formiulasi mengenai criteria analisa biaya,
keuntungan proyek, rancangan bentuk proyek dan pengelolahan proyek
5.Bola
pendduduk setempat terpaksa mendapat pengaruh negatif dari pembangunan proyek
industri ini, maka buatlah pembangunan alternative atau dicarikan jalan untuk
kompensasi kerugian sepenuhnya.
Sumber:
Santoso, Budi, 1999,ilmu
lingkungan industri,
universitas gunadarma,Jakarta.
Sumber daya alam
(SDA) adalah segala sesuatu yang muncul secara alami yangdapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia pada umumnya. Yang tergolong di dalamnya bukan hanya
komponen biotic seperti hewan, tumbuhan dan organism tetapi juga kommponen
abiotik minyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air, dan tanah. Inovasi teknologi
kemajuan peradaban dan populasi manusia, serta revolusi
industri telah membawa manusia pada era eksploitasi sumber daya alam
sehingga persediaannya terus berkurang secara signifikan, terutama pada satu
abad belakangan ini. Sumber daya alam mutlak diperlukan untuk menunjang
kebutuhan manusia, tetapi sayangnya keberadaannya tidak tersebar merata dan
beberapa negara seperti Indonesia, Brazil, Kongo, Sierra Leone, Maroko, dan
berbagai negara di Timur Tengah memiliki kekayaan alam hayati atau
nonhayati yang sangat berlimpah. Sebagai contoh, negara di kawasan Timur Tengah
memiliki persediaan gas alam sebesar sepertiga dari yang ada di dunia dan Maroko
sendiri memiliki persediaan senyawa fosfat sebesar
setengah dari yang ada di bumi.
Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam ini seringkali tidak sejalan dengan
perkembangan ekonomi
di negara-negara tersebut.
Pada umumnya,
sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat
diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui adalah
kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak dieksploitasi
berlebihan. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air
adalah beberapa contoh SDA terbaharukan. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di
alam, penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus
berkelanjutan. SDA tak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas
karena penggunaanya lebih cepat daripada proses pembentukannya dan apabila
digunakan secara terus-menerus akan habis. Minyak bumi, emas, besi, dan
berbagai bahan tambang lainnya pada umumnya memerlukan waktu dan proses yang
sangat panjang untuk kembali terbentuk sehingga jumlahnya sangat terbatas.,
minyak bumi dan gas alam pada umumnya berasal dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan
yang hidup jutaan tahun lalu, terutama dibentuk dan berasal dari lingkungan
perairan.Perubahan tekanan dan suhupanas selama jutaaan tahun ini kemudian
mengubah materi dan senyawa organik tersebut menjadi berbagai
jenis bahan tambang tersebut.
Pada dasarnya ketersedian sumber
daya yang melimpah di dunia ini memang untuk menjadi penunjang kehidupan bagi khalifah
di bumi ini yaitu manusia. Namun karena alasan tersebut bukan berarti bisa menggunakan
kekayaan alam dengan seenaknya saja, diperlukan juga tindakan untuk menjaga
kondisi lingkungan agar tetap stabil. Meskipun SDA itu jumlahnya melimpah namun
jauh lebih melimpah lagi jumlah manusia yang ada, dan terus bertambah setiap
tahunya yang hingga tahun 2011 ini mencapai angka 7 miliar jiwa. Jadi meskipun
lambat maka akan datang juga masa dimana SDA itu mulai habis.
Banyak cara yang bisa dilakukan,
kita tidak dulu membicarakan hal yang besar namun bisa dimulai dari hal yang
begitu sederhan, dan sudah pasti bisa dengan mudah dilaksanakan jika memang
mempunyai niat untuk itu. Mengingat dampak nyata yang telah muncul kepermukaan
sebaiknya kita mulai membiasakan diri bersahabat dengan lingkungan.
Memasuki abad 21, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara di Indonesia, suatu perubahan yang mungkin tak pernah diduga oleh kebanyakan masyarakat Indonesia sendiri. Diawali oleh krisis moneter dan ekonomi pada akhir 1997, perubahan-perubahan penting dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum dan sosial masih terus berlangsung hingga saat ini. Meskipun dampak krisis ekonomi mulai reda dan kondisi berangsur pulih, suasana serba tak pasti dan kebingungan masih terasa di mana-mana. Salah satu sumber kebingungan itu adalah proses desentralisasi yang ikut terpacu oleh dinamika perubahan sebagai akibat krisis ekonomi. Dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dalam situasi krisis, proses desentralisasi yang sebenarnya sudah dimulai sejak lama meskipun berjalan lambat, bercampur aduk dengan proses reformasi yang digencarkan sejak krisis ekonomi terjadi. Gejala lain yang ikut memperumit proses desentralisasi tersebut adalah munculnya aspirasi beberapa daerah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Adanya aspirasi ini membuat agenda otonomi daerah berada dalam dilema yang sulit dipecahkan, yakni antara keinginan untuk meredam aspirasi semacam itu melalui pemberian otonomi yang luas dan kekhawatiran bahwa persoalan pusat akan berpindah ke daerah karena ketidak-siapan daerah untuk menerima otonomi luas.
Meskipun masih sulit membayangkan wajah Indonesia baru dalam beberapa tahun mendatang, proses desentralisasi dan perwujudan otonomi daerah yang luas merupakan salah satu faktor yang hampir pasti akan ikut membentuk wajah tersebut. Dengan demikian, dapat diperkirakan akan terjadinya pergeseran besar-besaran dalam tata kehidupan masyarakat, dari tata kehidupan yang bersifat sentralistik ke sifat desentralistik, dari kecenderungan serba seragam ke warna warni lokal yang plural, dari paradigma negara kesatuan ke negara kuasi federal. Dalam operasionalisasinya, proses pergeseran tersebut memerlukan penjabaran yang rumit dan kompromi-kompromi yang alot dari beragam kepentingan yang terlibat. Hal inilah yang antara lain menimbulkan suasana serba tak pasti dan gamang sebagaimana tampak khususnya di kalangan birokrasi pemerintah.
Proses pergeseran yang dimaksud antara lain juga akan terjadi dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, apakah pergeseran ke arah otonomi daerah itu dapat dimanfaatkan untuk sekaligus memecahkan masalah-masalah yang selama ini dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya air ? Apakah UU No 22 tahun 1999 memberi landasan hukum yang memadai untuk upaya tersebut ? Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan yang terangkat dari pertanyaan tersebut guna membantu terselenggaranya upaya perwujudan otonomi daerah yang sekaligus mendukung penyempurnaan pengelolaan sumberdaya air.
Makna Otonomi Daerah Bagi Pengelolaan Sumberdaya Air
Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya disambut positif dan didukung banyak pihak. Disamping merupakan amanat konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan yang semakin mendesak dan menjadi jalan keluar bagi tantangan yang akan sulit diatasi jika penyelenggaraan kehidupan berbegara tetap dalam sistem yang sentralistik. Terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi ; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab bersama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Pengalaman dalam mengupayakan otonomi daerah selama ini menunjukkan alotnya proses yang berlangsung guna mewujudkan otonomi daerah. Faktor utama penyebabnya adalah keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan ke daerah dengan berbagai alasan, antara lain keraguan akan kemampuan daerah, kekhawatiran akan berpindahnya masalah-masalah pusat ke daerah dan sebagainya. Disamping keengganan, pemerintah pusat terkesan sangat berhati-hati dalam mendorong otonomi daerah. Ini dapat dibaca dari pesan yang senantiasa melekat dalam mengupayakan otonomi daerah, misalnya lewat ungkapan-ungkapan seperti otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, otonomi diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan sebagainya.
Keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan dalam rangka otonomi daerah bisa jadi bersumber pada faktor yang bersifat politis bahwa pusat tidak rela kehilangan kontrol dan kepentingannya terhadap daerah. Faktor demikian terbukti dapat ditandingi dengan ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri sehingga muncul dorongan yang kuat untuk segera mewujudkan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU No 22 tahun 1999. Hal yang tampaknya kurang disadari dalam kegairahan menyambut otonomi daerah yang luas ini adalah bahwa otonomi daerah dalam beberapa bidang urusan tertentu dapat justru menimbulkan kerugian disamping keuntungan sebagaimana secara umum telah dikemukakan. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam pengelolaan sumberdaya air. Keuntungan dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyelenggaraan otonomi daerah bagi pengelolaan sumberdaya air dapat dijelaskan dengan mengembalikan makna otonomi daerah sebagai penerapan azas desentralisasi. Seperti telah dikemukakan, desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat seperti mempermudah dan mempercepat penyelesaian masalah dan tantangan yang muncul secara lokal, mengurangi beban persoalan di pusat dan memperluas partisipasi bagi masyarakat lokal dan daerah. Setiap manfaat tersebut memiliki kondisi atau persyaratan-persyaratan tertentu agar dapat diperoleh melalui upaya desentralisasi. Persoalannya adalah apakah pengelolaan sumberdaya air menyediakan persyaratan yang dimaksud ? Satu misal adalah persyaratan bagi manfaat pertama, desentralisasi akan mampu memberikan manfaat tersebut bila masalah dan tantangan lokal sulit diramalkan dan heterogen sifatnya. Bila masalah yang muncul umumnya telah dapat diduga dan dapat dibuat rumusan secara umum, desentralisasi tak banyak gunanya karena keputusan dapat ditentukan secara terpusat dan dibakukan. Dengan mengidentifikasi dan menganalisa persyaratan-persyaratan untuk setiap manfaat yang diharapkan dari desentralisasi, akan bisa diidentifikasi hal-hal apa dalam pengelolaan sumberdaya air yang dapat memetik keuntungan dari desentralisasi.
Di pihak lain, perlu disadari beberapa kerugian yang dapat muncul dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya air. Desentralisasi dapat mendatangkan tiga bentuk kerugian, yakni mengurangi eksternalitas positif dan meningkatkan eksternalitas negatif; meningkatkan biaya artikulasi dan mengurangi keuntungan internal. Eksternalitas yang dimaksud merupakan dampak atau akibat tidak langsung yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumberdaya air terhadap lingkungan secara keseluruhan. Eksternalitas pengelolaan sumberdaya air dapat bersifat positif misalnya dalam bentuk dukungan bagi perkembangan ekonomi masyarakat, tingkat kesehatan rata-rata masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya air dalam bentuk otonomi daerah akan dapat mengurangi eksternalitas tersebut bila kepentingan masing-masing daerah tidak bisa saling dipertemukan untuk memaksimalkan nilai kegunaan sumberdaya air yang tersedia guna mendukung perkembangan ekonomi, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, eksternalitas negatif yang timbul akibat degradasi sumberdaya air menjadi semakin sulit ditanggulangi dalam sistem pengelolaan yang terdesentralisasi.
Artikulasi merupakan proses yang menghubungkan tindakan unit yang satu dengan tindakan dari unit-unit lainnya (Benveniste, 1989:230). Desentralisasi akan meningkatkan biaya artikulasi dalam arti akan lebih banyak waktu, energi serta biaya yang diperlukan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian yang masing-masing memiliki otonomi. Pemborosan dapat terjadi bila terdapat duplikasi dalam pelayanan. Selain itu, konflik antar bagian lebih mudah terjadi. Dalam pengelolaan sumberdaya air, biaya artikulasi akan menjadi tinggi untuk menangani urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, seperti pengamanan catchment area, penanggulangan erosi, penyusunan rencana tata pengaturan air dalam satu sungai yang melintasi dua atau lebih daerah otonom dan sebagainya. Keuntungan internal dapat diperoleh oleh kesatuan sistem pengelolaan, misalnya pembangunan suatu sistem jaringan irigasi akan membutuhkan satuan wilayah tertentu yang secara minimal memenuhi skala ekonomi yang dibutuhkan sehingga tercapai efisiensi biaya. Desentralisasi yang mengabaikan prinsip ini akan berdampak pada pengurangan atau hilangnya keuntungan internal yang seharusnya dapat diperoleh. Bentuk keuntungan internal lain adalah standardisasi dan simplifikasi norma-norma adminsitratif yang tidak perlu dihilangkan karena alasan desentralisasi. Desentralisasi atau Sentralisasi ?
Dengan mencermati segi-segi menguntungkan dan merugikan dari proses desentralisasi, menjadi jelas bahwa tidak semua hal dalam pengelolaan sumberdaya air yang akan menjadi lebih baik bila dikelola secara terdesentralisasi. Secara teoritis, sentralisasi dan desentraalisasi memang berada dalam suatu kontinum (Benveniste, 1989: 234). Disamping itu terdapat kondisi dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memetik keuntungan dari masing-masing pilihan tersebut. Sentralisasi dalam hal ini dapat berarti terpusat di tingkat nasional atau dalam satu Satuan Wilayah Sungai (SWS). Sementara desentralisasi berarti menyerahkan sebagian kewenangan ke tingkat daerah otonom, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota. Dalam Tabel 1 dicoba diidentifikasi hal-hal dalam pengelolaan sumberdaya air yang cocok untuk sentralisasi dan desentralisasi, misalnya dalam kasus pengelolaan sungai dan sistem irigasi.
Dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek urusan yang cocok untuk didesentralisasi, ada dua peluang yang memberi harapan untuk menemukan jalan keluar bagi permasalahan pengelolaan sumberdaya air.
Pertama, desentralisasi akan memungkinkan terpenuhinya biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&P) untuk pendaya-gunaan sumberdaya air dalam jumlah yang lebih memadai dan berkorelasi langsung dengan tingkat pelayanan yang diberikan. Contoh paling jelas untuk peluang ini adalah desentralisasi pengelolaan jaringan irigasi, baik dengan menyerahkan semua urusa pengelolaan jaringan irigasi ke para petani pemakai air (P3A) maupun dinas pengairan di daerah otonom. Langkah desentralisasi ini sudah dimulai sejak menjelang akhir tahun 1980-an tetapi masih banyak menghadapi hambatan. Hambatan yang muncul kebanyakan disebabkan karena terlalu terpaku pada proses persiapan dan pelaksanaan penyerahan kewenangan. Pada hal disamping hambatan tersebut, sebenarnya sudah menunggu ancaman dari periode pasca penyerahan berupa kegagalan lembaga pengelola untuk menjalankan otonominya dalam pengelolaan jaringan irigasi.
Kedua, desentralisasi akan meningkatkan efektivitas pengelolaan di tingkat lokal melalui fleksibelitas yang lebih besar bagi pihak pengelola lokal untuk menyesuaikan bentuk kelembagaan maupun fungsinya dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Dalam kasus pengelolaan jaringan irigasi, kebebasan untuk menemukan bentuk dan fungsi kelembagaan P3A sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal akan menghilangkan kekakuan aturan pusat yang merupakan salah satu sumber kegagalan berfungsinya lembaga pengelola lokal selama ini.
Dua peluang tersebut merupakan peluang pokok yang jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan memunculkan peluang-peluang ikutan lainnya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Terpenuhinya biaya O&P secara memadai misalnya akan memecahkan kendala keterbatasan pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sehingga pada gilirannya akan menjamin kelangsungan pelayanan air bagi berbagai jenis penggunaan. Eksternalitas positif akan dengan sendirinya muncul dari peningkatan pelayanan air tersebut. Begitu juga, efektivitas kelembagaan pengelola sumberdaya air di tingkat lokal akan berdampak pada perbaikan pelayanan air dan menjamin kelansungannya.
Disamping peluang, terdapat ancaman yang secara potensial akan muncul oleh proses desentralisasi. Seperti telah disinggung di muka, ancaman yang dimaksud pada dasarnya muncul dari kegagalan menaggulangi sejumlah kerugian yang timbul karena proses desentralisasi. Ancaman pertama akan muncul dalam bentuk beban pembiayaan lebih berat dan melampaui proporsi yang harus dipikul oleh masyarakat pengguna air di lokasi setempat. Ancaman ini muncul oleh orientasi berlebihan pemerintah daerah otonom setempat untuk menghimpun sumber-sumber pembiayaan Pendapatan Asli daerah (PAD) agar mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Meningkatnya beban pembiayaan sejauh dimanfaatkan hanya dalam rangka otonomi pengelolaan sumberdaya air dapat dipahami dan diterima secara wajar. Tetapi dalam praktek dapat terjadi hilangnya korelasi langsung antara beban yang dipungut dan tingkat pelayanan yang diberikan karena pemanfaatan untuk hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air. Orientasi semacam ini bisa dihilangkan jika proses artikulasi dalam sistem pengelolaan secara utuh dapat berjalan efektif sehingga tindakan yang bersifat sepihak oleh pemerintah daerah otonom dapat diimbangi oleh reaksi berlawanan dari bagian lain yang akan dirugikan.
Ancaman ke dua adalah meningkatnya konflik antar daerah otonom, khususnya untuk sumberdaya air yang pengelolaannya bersifat lintas daerah. Hal ini bisa dipahami mengingat perbedaan kepentingan atau preferensi antar daerah yang dapat meruncing karena didukung oleh menguatnya basis kewenangan masing-masing. Kunci untuk mengurangi potensi konflik ini adalah membatasi kewenangan masing-masing daerah untuk hal-hal yang bersifat lintas daerah. Dengan kata lain, dalam hal-hal semacam itu, sentralisasi di tingkat SWS akan lebih bermanfaat dibanding desentralisasi.
Ancaman ketiga akan timbul dari kegagalan menindak-lanjuti proses desentralisasi atau dengan kata lain mengisi otonomi daerah dengan praktek pengolaan yang sesuai dengan porsi kewenangan yang telah diterima. Jika kegagalan ini terjadi hasil yang dipetik akan merupakan back fire yang akan semakin memerosotkan kinerja pengelolaan sumberdaya air dengan segala akibatnya. Selain persiapan yang matang tetapi juga tidak menjebak dalam kerumitan-kerumitan baru, perhatian yang besar harus diarahkan pada upaya-upaya penanggulangan masalah pada periode pasca penyerahan kewenangan. Berdasar tinjauan terhadap peluang dan ancaman di atas, dapat diidentifikasi tantangan-tantangan yang harus ditanggulangi agar proses desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah dapat memberikan makna yang produktif untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Pertama, pemetaan masalah secara komprehensif dan rinci untuk memperoleh gambaran sejelas-jelasnya hal-hal apa yang darus didesentralisasi dan apa yang tetap harus dipertahanakan secara terpusat pada tingkat yang mana sebagai dasar konsepsional penyelenggaraan otonomi daerah yang meyangkut pengelolaan sumberdaya air. Kedua, sosialisasi dan pendekatan ke pihak-pihak terkait (stakeholder) untuk memproses lahirnya komitmen yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang kondusif dan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Ketiga, merumuskan strategi dan program-program yang berkesinambungan untuk mewujudkan komitmen-komitmen yang diperoleh di tengah proses persiapan dan penyelenggaraan otnomi daerah yang kini dilakukan oleh berbagai pihak. Ke empat adalah segera terjun dalam tindakan praktis untuk mengupayakan perwujudan otonomi daerah sesuai konsep, strategi dan program yang telah dipersiapkan. Untuk mendukung semua upaya dalam rangka menjawab tantangan tersebut secara internal perlu digalang komunikasi dan kerjasama yang produktif dikalangan para penggiat, pemerhati dan mereka yang memiliki kepedulian terhadap masalah sumberdaya air.
Ilmu lingkungan atau
Environmental Science (ES) adalah ilmu yang mempelajari tentang lingkungan
hidup, yang merupakan perpaduan konsep dan asas berbagai ilmu, terutama ekologi,
yang bertujuan untuk mempelajari dan memecahkan masalah yang menyangkut hubungan antara
makhluk hidup dengan lingkungan.
Ilmu lingkungan meliputi hubungan
interaksi yang sangat kompleks, antara komponen – komponen fisik, kimia dan
biologi yang ada di lingkungan serta merupakan suatu disiplin ilmu yang saling
melengkapi dengan ilmu alam, ilmu teknik dan ilmu sosial.
Untuk memudahkan
mempelajarinya dilakukan berbagai pendekatan, antara lain: homeostasis, energi,
kapasitas, simbiosis, sistem, danmodel.
Adapun perbedaan utama ilmu lingkungan dan ekologi adalah adanya misi untuk
mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid),
baru, dan menyeluruh tentang alam sekitar, dan dampak perlakuan manusia
terhadap alam.
Misi tersebut adalah
untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan, tanggung jawab, dan keberpihakan
terhadap manusia dan lingkungan hidup secara menyeluruh.
Ilmu lingkungan juga tidak lepas dari perilaku manusia itu sendiri sebagai
suatu komponen lingkungan yang paling dominan.
Sebab, manusia senantiasa mengolah, mengambil dan mengembangkan sesuatu yang
ada di alam itu sendiri.
Untuk mencapai
keseimbangan lingkungan, otomatis diperlukan kesadaran dari manusia agar merasa memiliki dan
mencintai segenap makhluk hidup dan alam lingkungannya sebagai tempat hidupnya.
Tumbuhnya kesadaran akan lingkungan sudah dimulai sejak lama, contohnya Plato
pada 4 abad Sebelum Masehi telah mengamatikerusakan alam akibat
perilaku manusia.
Sedangkan Indonesia, tulisan tentang masalah lingkungan
hidup mulai muncul pada 1960-an. Sejak itu Indonesia terus aktif mengikuti
pertemuan puncak yang membicarakan tentang lingkungan hidup secara global.
Dalam ilmu lingkungan, permasalahan lingkungan hidup terdiri dari
permasalahan lingkungan global dan sektoral.
Contoh permasalahan
lingkungan global adalah: pertumbuhan penduduk, penggunaan sumber daya alam
yang tidak merata; perubahan cuaca global karena berbagai kasus pencemaran dan gaya hidup yang
berlebihan; serta penurunan keanekaragaman hayati akibat perilaku manusia, yang
kecepatannya meningkat luar biasa akhir-akhir ini.
Contoh permasalahan
lingkungan sektoral dibahas masalah lingkungan yang terjadi di Indonesia,
seperti yang terjadi di kawasan pertanian,
hutan, pesisir, laut, dan perkotaan.
Adapun usaha mengatasi
permasalahan lingkungan dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan yang
dibahas adalah cara ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi,
penegakan hukum, dan etika lingkungan.
Saat ini, isu–isu terkait perusakan lingkungan sedang gencar dibahas oleh
berbagai pihak yang peduli dan prihatin akan kondisi lingkungan sedang menjadi
topik dunia. Berbagai jenis revolusi dan gerakan cintalingkungan
telah digerakkan untuk menjadi sesuatu yang serius dipikirkan untuk masa depan.
Seperti contoh Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI), Green Peace, Green Light, Green Movie Community, dan
sebagainya.
Berbagai inti permasalahan
lingkungan, tidak hanya digali dalam ilmu lingkungan, namun juga segi sosial, politik,
hukum dan ekonomi. Sebab, keseluruhan aspek ilmu menimbulkan sebab dan akibat
yang saling berhubungan dengan lingkungan.
Ilmu lingkungan dapat dikatakan sebagai terapan ekologi. Ekologi ialah ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup. Ekologi mempelajari hubungan timbal-balik antara mahluk hidup dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati di sekitarnya. Ilmu lingkungan menerapkan berbagai prinsip dan ketentuan ekologi dalam kehidupan manusia, atau mempelajari bagaimana manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam lingkungan hidup (Soerjani 1987).
Gambar 1 memperlihatkan posisi ekologi di antara Ilmu Lingkungan Kehayatan dan Ilmu Lingkungan Kebendaan. Menurut Tandjung (2003), Ilmu Lingkungan Kehayatan mempelajari mahluk hidup atau organisme, sedangkan Ilmu Lingkungan Kebendaan mengkaji tentang alam.
Gambar 1. Ekologi sebagai Dasar Ilmu-ilmu Lingkungan
(Sumber: Tandjung 2003)
Soeriaatmadja (1997) menyatakan ilmu lingkungan mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari hubungan antara jasad hidup dengan lingkungannya. Didalamnya berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, epidemiologi, kesehatan masyarakat, planologi, geografi, ekonomi, meteorologi, hidrologi, bahkan pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan sekaligus dipandang dalam suatu ruanglingkup serta perspektif yang luas dan saling berkaitan. Ilmu lingkungan merupakan tempat berbagai asas dan konsep anekaragam ilmu yang terpencar dan terkhususkan dapat digabungkan kembali secara tunjang menunjang untuk mengatasi masalah yang menyangkut hubungan antara jasad hidup dengan lingkungannya.