Senin, 14 November 2011

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM: AIR


Memasuki abad 21, terjadi  perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara di Indonesia, suatu perubahan yang mungkin tak pernah diduga oleh kebanyakan masyarakat Indonesia sendiri.  Diawali oleh krisis moneter dan ekonomi pada akhir 1997, perubahan-perubahan penting  dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum  dan sosial  masih terus berlangsung hingga saat ini.  Meskipun dampak krisis ekonomi  mulai  reda dan kondisi berangsur pulih, suasana serba tak pasti  dan kebingungan masih terasa di mana-mana.  Salah satu sumber kebingungan itu adalah proses desentralisasi  yang ikut terpacu oleh dinamika perubahan sebagai akibat krisis ekonomi.  Dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah  dalam  situasi krisis, proses desentralisasi yang sebenarnya sudah dimulai sejak   lama meskipun berjalan lambat, bercampur aduk dengan proses reformasi yang digencarkan sejak krisis ekonomi terjadi. Gejala lain yang ikut memperumit proses desentralisasi tersebut adalah munculnya aspirasi  beberapa daerah untuk memisahkan diri  dari negara kesatuan RI. Adanya aspirasi ini  membuat agenda  otonomi daerah berada dalam dilema yang sulit dipecahkan, yakni  antara keinginan untuk meredam  aspirasi semacam itu melalui  pemberian otonomi yang luas dan kekhawatiran bahwa  persoalan pusat akan berpindah ke daerah karena ketidak-siapan daerah untuk menerima otonomi luas.

 Meskipun masih sulit membayangkan wajah Indonesia baru dalam beberapa tahun mendatang, proses desentralisasi dan perwujudan otonomi daerah yang luas merupakan salah satu faktor yang hampir pasti akan ikut membentuk wajah tersebut.  Dengan demikian, dapat diperkirakan akan terjadinya pergeseran besar-besaran dalam tata kehidupan masyarakat, dari  tata kehidupan yang bersifat sentralistik ke sifat desentralistik, dari  kecenderungan serba seragam ke warna warni  lokal  yang plural, dari  paradigma  negara kesatuan  ke negara kuasi federal.  Dalam operasionalisasinya, proses pergeseran tersebut memerlukan penjabaran yang rumit dan  kompromi-kompromi yang alot dari beragam kepentingan yang terlibat. Hal inilah yang antara lain menimbulkan suasana serba tak pasti dan gamang sebagaimana tampak khususnya di kalangan birokrasi pemerintah.

 Proses pergeseran yang dimaksud antara lain juga akan terjadi dalam pengelolaan sumberdaya air.  Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, apakah pergeseran ke arah otonomi daerah itu dapat dimanfaatkan untuk  sekaligus memecahkan masalah-masalah yang selama ini dihadapi  dalam pengelolaan sumberdaya air ?   Apakah UU No 22 tahun 1999 memberi  landasan hukum yang memadai untuk upaya tersebut ?  Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan yang terangkat dari pertanyaan tersebut guna membantu  terselenggaranya upaya  perwujudan otonomi daerah  yang sekaligus mendukung penyempurnaan pengelolaan sumberdaya air.

Makna Otonomi Daerah Bagi Pengelolaan Sumberdaya Air
 Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya disambut positif dan didukung banyak pihak.  Disamping merupakan amanat konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan  yang semakin mendesak dan menjadi jalan keluar bagi  tantangan yang akan sulit diatasi  jika  penyelenggaraan  kehidupan berbegara  tetap dalam sistem yang sentralistik.  Terdapat tiga  manfaat yang umumnya diharapkan dari  penyelenggaraan otonomi  daerah  melalui desentralisasi  : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih  berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul  di daerah dapat  lebih mudah dan cepat diatasi ; kedua, beban persoalan  dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi  yang  lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab bersama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.

 Pengalaman dalam mengupayakan otonomi daerah selama ini  menunjukkan alotnya proses yang berlangsung guna mewujudkan otonomi daerah.  Faktor utama penyebabnya adalah keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan ke daerah dengan berbagai alasan, antara lain keraguan akan kemampuan daerah, kekhawatiran  akan  berpindahnya masalah-masalah pusat ke daerah dan sebagainya.  Disamping keengganan, pemerintah pusat terkesan sangat berhati-hati dalam mendorong otonomi daerah. Ini dapat dibaca dari  pesan yang senantiasa melekat dalam mengupayakan otonomi daerah, misalnya lewat ungkapan-ungkapan seperti otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, otonomi diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan sebagainya.

 Keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan dalam rangka otonomi daerah bisa jadi bersumber pada faktor yang bersifat politis bahwa pusat tidak rela kehilangan kontrol dan kepentingannya terhadap daerah.  Faktor demikian terbukti  dapat  ditandingi  dengan ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri sehingga muncul dorongan yang kuat untuk segera mewujudkan otonomi daerah sebagaimana  tertuang dalam UU No 22 tahun 1999.  Hal yang tampaknya kurang disadari  dalam  kegairahan  menyambut otonomi daerah yang luas ini adalah bahwa otonomi  daerah  dalam beberapa  bidang  urusan  tertentu dapat  justru menimbulkan kerugian disamping keuntungan sebagaimana secara umum telah dikemukakan.  Hal ini dapat dilihat antara lain dalam pengelolaan sumberdaya air.
 Keuntungan dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyelenggaraan otonomi daerah bagi pengelolaan sumberdaya air   dapat dijelaskan  dengan  mengembalikan  makna otonomi daerah sebagai  penerapan azas desentralisasi.  Seperti telah dikemukakan, desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat seperti  mempermudah dan mempercepat penyelesaian masalah dan tantangan yang muncul  secara lokal, mengurangi beban persoalan di pusat dan memperluas partisipasi  bagi masyarakat  lokal dan daerah.   Setiap manfaat tersebut memiliki  kondisi atau persyaratan-persyaratan tertentu agar  dapat diperoleh melalui upaya desentralisasi.  Persoalannya adalah apakah pengelolaan sumberdaya air  menyediakan  persyaratan yang dimaksud ?  Satu misal adalah persyaratan bagi manfaat pertama, desentralisasi akan mampu memberikan manfaat tersebut bila  masalah dan tantangan lokal  sulit diramalkan  dan  heterogen sifatnya.  Bila  masalah yang muncul  umumnya telah dapat diduga dan dapat dibuat rumusan secara umum, desentralisasi  tak banyak gunanya karena keputusan dapat ditentukan secara terpusat dan dibakukan.  Dengan mengidentifikasi dan menganalisa persyaratan-persyaratan untuk setiap manfaat yang diharapkan dari desentralisasi, akan bisa diidentifikasi  hal-hal apa dalam pengelolaan sumberdaya air yang dapat memetik keuntungan dari desentralisasi.

 Di pihak lain, perlu disadari beberapa kerugian yang dapat muncul dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya air.  Desentralisasi  dapat mendatangkan tiga bentuk kerugian, yakni  mengurangi eksternalitas   positif  dan meningkatkan eksternalitas  negatif; meningkatkan biaya artikulasi dan mengurangi keuntungan internal. Eksternalitas yang dimaksud  merupakan  dampak  atau  akibat  tidak langsung  yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumberdaya air terhadap lingkungan secara keseluruhan.  Eksternalitas pengelolaan sumberdaya air dapat bersifat positif misalnya dalam bentuk  dukungan  bagi perkembangan ekonomi masyarakat, tingkat kesehatan rata-rata masyarakat dan  kelestarian  lingkungan hidup. Desentralisasi  pengelolaan sumberdaya air dalam bentuk otonomi daerah akan dapat mengurangi eksternalitas tersebut bila  kepentingan masing-masing daerah tidak bisa saling dipertemukan untuk memaksimalkan  nilai  kegunaan sumberdaya air yang tersedia guna mendukung perkembangan ekonomi, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup.  Sebaliknya, eksternalitas negatif  yang timbul  akibat  degradasi  sumberdaya air  menjadi semakin sulit  ditanggulangi  dalam  sistem pengelolaan yang terdesentralisasi.

 Artikulasi merupakan proses yang menghubungkan tindakan unit yang satu dengan tindakan dari  unit-unit lainnya (Benveniste, 1989:230).  Desentralisasi akan meningkatkan biaya artikulasi dalam arti akan lebih banyak waktu, energi serta   biaya yang diperlukan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian yang masing-masing memiliki otonomi.  Pemborosan  dapat terjadi  bila  terdapat duplikasi  dalam pelayanan.  Selain itu, konflik antar bagian lebih mudah terjadi.  Dalam pengelolaan sumberdaya air, biaya artikulasi akan menjadi tinggi  untuk menangani  urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, seperti  pengamanan  catchment area, penanggulangan  erosi, penyusunan rencana tata pengaturan air dalam satu  sungai yang melintasi dua atau lebih daerah otonom dan sebagainya.
 Keuntungan internal  dapat diperoleh  oleh kesatuan sistem pengelolaan, misalnya   pembangunan  suatu sistem jaringan irigasi  akan membutuhkan  satuan wilayah tertentu yang secara minimal memenuhi skala ekonomi yang dibutuhkan sehingga tercapai efisiensi biaya.  Desentralisasi yang mengabaikan  prinsip ini akan berdampak pada pengurangan atau hilangnya keuntungan internal yang seharusnya dapat diperoleh.  Bentuk keuntungan internal lain adalah standardisasi dan simplifikasi norma-norma adminsitratif yang tidak perlu dihilangkan karena alasan desentralisasi.
Desentralisasi atau Sentralisasi ?
 Dengan mencermati segi-segi menguntungkan dan merugikan dari proses desentralisasi, menjadi jelas bahwa  tidak semua hal  dalam  pengelolaan sumberdaya air yang akan menjadi lebih baik bila dikelola secara terdesentralisasi.  Secara teoritis, sentralisasi dan desentraalisasi memang berada dalam suatu kontinum (Benveniste, 1989: 234).  Disamping itu terdapat kondisi dan persyaratan yang harus dipenuhi  untuk memetik keuntungan dari masing-masing pilihan tersebut.  Sentralisasi  dalam hal ini dapat berarti  terpusat di tingkat nasional atau dalam satu  Satuan Wilayah Sungai (SWS).  Sementara desentralisasi berarti  menyerahkan sebagian kewenangan ke tingkat daerah otonom, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota.  Dalam Tabel  1 dicoba diidentifikasi  hal-hal  dalam pengelolaan sumberdaya air yang  cocok  untuk sentralisasi  dan desentralisasi, misalnya dalam kasus pengelolaan  sungai dan sistem irigasi.

Peluang, Ancaman dan Tantangan
 Dengan memusatkan perhatian  pada aspek-aspek urusan yang cocok untuk didesentralisasi, ada dua peluang yang memberi harapan untuk menemukan jalan keluar bagi  permasalahan pengelolaan sumberdaya air. 

Pertama, desentralisasi  akan memungkinkan terpenuhinya biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&P) untuk pendaya-gunaan sumberdaya air dalam jumlah yang lebih memadai  dan berkorelasi langsung dengan tingkat pelayanan yang diberikan.  Contoh paling jelas untuk peluang ini adalah desentralisasi pengelolaan jaringan irigasi, baik dengan menyerahkan semua urusa pengelolaan jaringan irigasi ke para petani pemakai air  (P3A) maupun dinas pengairan di daerah otonom.  Langkah desentralisasi ini sudah dimulai sejak menjelang akhir tahun 1980-an tetapi  masih banyak menghadapi hambatan.  Hambatan yang muncul  kebanyakan  disebabkan  karena  terlalu  terpaku pada  proses persiapan dan pelaksanaan penyerahan kewenangan.  Pada hal disamping hambatan  tersebut, sebenarnya  sudah menunggu ancaman  dari  periode pasca penyerahan berupa  kegagalan  lembaga pengelola untuk menjalankan otonominya dalam  pengelolaan jaringan irigasi.

 Kedua, desentralisasi  akan meningkatkan  efektivitas pengelolaan di tingkat lokal  melalui fleksibelitas yang lebih besar bagi  pihak pengelola lokal  untuk menyesuaikan  bentuk kelembagaan maupun fungsinya dengan  kebutuhan dan kondisi setempat.   Dalam kasus pengelolaan jaringan irigasi, kebebasan untuk menemukan bentuk dan fungsi  kelembagaan P3A sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal  akan  menghilangkan kekakuan aturan pusat yang merupakan salah satu sumber kegagalan berfungsinya lembaga pengelola lokal selama ini.

 Dua peluang tersebut merupakan peluang pokok yang jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan memunculkan peluang-peluang ikutan lainnya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.  Terpenuhinya biaya O&P secara memadai  misalnya akan memecahkan kendala keterbatasan pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sehingga pada gilirannya akan menjamin kelangsungan  pelayanan air bagi berbagai  jenis penggunaan.  Eksternalitas positif akan dengan sendirinya muncul dari  peningkatan pelayanan air tersebut.  Begitu juga, efektivitas kelembagaan pengelola sumberdaya air di tingkat lokal  akan berdampak pada perbaikan pelayanan air dan menjamin kelansungannya.

 Disamping peluang, terdapat ancaman yang secara potensial akan muncul oleh proses desentralisasi.  Seperti telah disinggung di muka, ancaman yang dimaksud pada dasarnya muncul dari kegagalan  menaggulangi sejumlah kerugian yang timbul karena proses desentralisasi.  Ancaman pertama akan muncul dalam bentuk beban pembiayaan lebih berat dan melampaui proporsi yang harus dipikul oleh masyarakat pengguna air di lokasi setempat.  Ancaman ini muncul  oleh orientasi  berlebihan  pemerintah daerah otonom setempat untuk menghimpun sumber-sumber pembiayaan Pendapatan Asli daerah (PAD) agar mampu menyelenggarakan otonomi daerah.  Meningkatnya beban pembiayaan sejauh dimanfaatkan hanya dalam rangka otonomi pengelolaan sumberdaya air dapat dipahami dan diterima secara wajar.  Tetapi dalam praktek dapat terjadi  hilangnya korelasi langsung antara beban yang dipungut dan tingkat pelayanan yang diberikan karena pemanfaatan untuk hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air.   Orientasi semacam ini bisa dihilangkan jika proses artikulasi  dalam sistem pengelolaan secara utuh dapat berjalan  efektif sehingga tindakan yang bersifat sepihak oleh pemerintah daerah otonom dapat diimbangi oleh reaksi  berlawanan dari  bagian lain yang akan dirugikan.

 Ancaman ke dua adalah meningkatnya konflik antar daerah otonom, khususnya untuk  sumberdaya air  yang pengelolaannya bersifat lintas daerah.  Hal ini bisa dipahami mengingat perbedaan kepentingan atau preferensi  antar daerah yang dapat meruncing karena didukung oleh menguatnya basis kewenangan masing-masing.  Kunci untuk mengurangi potensi konflik ini adalah membatasi  kewenangan masing-masing daerah untuk hal-hal yang bersifat lintas daerah.  Dengan kata lain, dalam hal-hal semacam itu, sentralisasi  di tingkat  SWS akan lebih bermanfaat dibanding desentralisasi.

 Ancaman ketiga akan timbul  dari kegagalan menindak-lanjuti proses desentralisasi  atau dengan kata lain mengisi  otonomi daerah  dengan  praktek pengolaan yang sesuai dengan porsi kewenangan yang telah diterima.  Jika kegagalan ini terjadi  hasil  yang dipetik  akan merupakan  back fire yang akan semakin memerosotkan kinerja pengelolaan sumberdaya air dengan segala akibatnya.  Selain persiapan yang matang tetapi juga tidak menjebak dalam kerumitan-kerumitan baru, perhatian yang besar harus diarahkan pada  upaya-upaya penanggulangan masalah pada periode pasca penyerahan kewenangan.
 Berdasar tinjauan terhadap peluang dan ancaman di atas, dapat diidentifikasi tantangan-tantangan  yang harus ditanggulangi agar proses desentralisasi  untuk mewujudkan otonomi daerah dapat  memberikan  makna yang produktif  untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air.  Pertama, pemetaan masalah secara komprehensif  dan  rinci  untuk  memperoleh gambaran sejelas-jelasnya hal-hal apa yang darus didesentralisasi dan apa yang tetap harus dipertahanakan secara terpusat pada tingkat yang mana sebagai  dasar konsepsional penyelenggaraan otonomi daerah yang meyangkut pengelolaan sumberdaya air.  Kedua, sosialisasi  dan pendekatan ke pihak-pihak terkait (stakeholder) untuk memproses lahirnya komitmen yang kuat bagi  penyelenggaraan otonomi daerah  yang kondusif dan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air.  Ketiga, merumuskan strategi  dan program-program yang berkesinambungan untuk mewujudkan  komitmen-komitmen yang diperoleh di tengah proses persiapan dan penyelenggaraan otnomi daerah yang kini dilakukan oleh berbagai pihak.   Ke empat adalah  segera terjun dalam tindakan praktis untuk mengupayakan  perwujudan otonomi daerah sesuai konsep, strategi dan program yang telah dipersiapkan.  Untuk mendukung semua upaya dalam rangka menjawab tantangan tersebut secara internal perlu digalang komunikasi dan kerjasama yang produktif dikalangan para penggiat, pemerhati dan mereka yang memiliki kepedulian terhadap masalah sumberdaya air.

















Sumber:
- youtube.com
-images.soemarno.multiply.com
-http://psdal.lp3es.or.id

Selasa, 08 November 2011

ASAS-ASAS LINGKUNGAN


Ilmu lingkungan atau Environmental Science (ES) adalah ilmu yang mempelajari tentang lingkungan hidup, yang merupakan perpaduan konsep dan asas berbagai ilmu, terutama ekologi, yang bertujuan untuk mempelajari dan memecahkan masalah yang menyangkut hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan.

Ilmu lingkungan meliputi hubungan interaksi yang sangat kompleks, antara komponen – komponen fisik, kimia dan biologi yang ada di lingkungan serta merupakan suatu disiplin ilmu yang saling melengkapi dengan ilmu alam, ilmu teknik dan ilmu sosial.
Untuk memudahkan mempelajarinya dilakukan berbagai pendekatan, antara lain: homeostasis, energi, kapasitas, simbiosis, sistem, danmodel.

Adapun perbedaan utama ilmu lingkungan dan ekologi adalah adanya misi untuk mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid), baru, dan menyeluruh tentang alam sekitar, dan dampak perlakuan manusia terhadap alam.
Misi tersebut adalah untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan, tanggung jawab, dan keberpihakan terhadap manusia dan lingkungan hidup secara menyeluruh.

Ilmu lingkungan juga tidak lepas dari perilaku manusia itu sendiri sebagai suatu komponen lingkungan yang paling dominan. Sebab, manusia senantiasa mengolah, mengambil dan mengembangkan sesuatu yang ada di alam itu sendiri.
Untuk mencapai keseimbangan lingkungan, otomatis diperlukan kesadaran dari manusia agar merasa memiliki dan mencintai segenap makhluk hidup dan alam lingkungannya sebagai tempat hidupnya.

Tumbuhnya kesadaran akan lingkungan sudah dimulai sejak lama, contohnya Plato pada 4 abad Sebelum Masehi telah mengamatikerusakan alam akibat perilaku manusia.
Sedangkan Indonesia, tulisan tentang masalah lingkungan hidup mulai muncul pada 1960-an. Sejak itu Indonesia terus aktif mengikuti pertemuan puncak yang membicarakan tentang lingkungan hidup secara global.

Dalam ilmu lingkungan, permasalahan lingkungan hidup terdiri dari permasalahan lingkungan global dan sektoral.
Contoh permasalahan lingkungan global adalah: pertumbuhan penduduk, penggunaan sumber daya alam yang tidak merata; perubahan cuaca global karena berbagai kasus pencemaran dan gaya hidup yang berlebihan; serta penurunan keanekaragaman hayati akibat perilaku manusia, yang kecepatannya meningkat luar biasa akhir-akhir ini.
Contoh permasalahan lingkungan sektoral dibahas masalah lingkungan yang terjadi di Indonesia, seperti yang terjadi di kawasan pertanian, hutan, pesisir, laut, dan perkotaan.
Adapun usaha mengatasi permasalahan lingkungan dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan yang dibahas adalah cara ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, penegakan hukum, dan etika lingkungan.

Saat ini, isu–isu terkait perusakan lingkungan sedang gencar dibahas oleh berbagai pihak yang peduli dan prihatin akan kondisi lingkungan sedang menjadi topik dunia. Berbagai jenis revolusi dan gerakan cintalingkungan telah digerakkan untuk menjadi sesuatu yang serius dipikirkan untuk masa depan.
Seperti contoh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Green Peace, Green Light, Green Movie Community, dan sebagainya.
Berbagai inti permasalahan lingkungan, tidak hanya digali dalam ilmu lingkungan, namun juga segi sosial, politik, hukum dan ekonomi. Sebab, keseluruhan aspek ilmu menimbulkan sebab dan akibat yang saling berhubungan dengan lingkungan.











sumber:
-http://www.anneahira.com
-staff.unud.ac.id
-youtube.com