Memasuki abad 21, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara di Indonesia, suatu perubahan yang mungkin tak pernah diduga oleh kebanyakan masyarakat Indonesia sendiri. Diawali oleh krisis moneter dan ekonomi pada akhir 1997, perubahan-perubahan penting dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum dan sosial masih terus berlangsung hingga saat ini. Meskipun dampak krisis ekonomi mulai reda dan kondisi berangsur pulih, suasana serba tak pasti dan kebingungan masih terasa di mana-mana. Salah satu sumber kebingungan itu adalah proses desentralisasi yang ikut terpacu oleh dinamika perubahan sebagai akibat krisis ekonomi. Dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dalam situasi krisis, proses desentralisasi yang sebenarnya sudah dimulai sejak lama meskipun berjalan lambat, bercampur aduk dengan proses reformasi yang digencarkan sejak krisis ekonomi terjadi. Gejala lain yang ikut memperumit proses desentralisasi tersebut adalah munculnya aspirasi beberapa daerah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Adanya aspirasi ini membuat agenda otonomi daerah berada dalam dilema yang sulit dipecahkan, yakni antara keinginan untuk meredam aspirasi semacam itu melalui pemberian otonomi yang luas dan kekhawatiran bahwa persoalan pusat akan berpindah ke daerah karena ketidak-siapan daerah untuk menerima otonomi luas.
Meskipun masih sulit membayangkan wajah Indonesia baru dalam beberapa tahun mendatang, proses desentralisasi dan perwujudan otonomi daerah yang luas merupakan salah satu faktor yang hampir pasti akan ikut membentuk wajah tersebut. Dengan demikian, dapat diperkirakan akan terjadinya pergeseran besar-besaran dalam tata kehidupan masyarakat, dari tata kehidupan yang bersifat sentralistik ke sifat desentralistik, dari kecenderungan serba seragam ke warna warni lokal yang plural, dari paradigma negara kesatuan ke negara kuasi federal. Dalam operasionalisasinya, proses pergeseran tersebut memerlukan penjabaran yang rumit dan kompromi-kompromi yang alot dari beragam kepentingan yang terlibat. Hal inilah yang antara lain menimbulkan suasana serba tak pasti dan gamang sebagaimana tampak khususnya di kalangan birokrasi pemerintah.
Proses pergeseran yang dimaksud antara lain juga akan terjadi dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, apakah pergeseran ke arah otonomi daerah itu dapat dimanfaatkan untuk sekaligus memecahkan masalah-masalah yang selama ini dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya air ? Apakah UU No 22 tahun 1999 memberi landasan hukum yang memadai untuk upaya tersebut ? Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan yang terangkat dari pertanyaan tersebut guna membantu terselenggaranya upaya perwujudan otonomi daerah yang sekaligus mendukung penyempurnaan pengelolaan sumberdaya air.
Meskipun masih sulit membayangkan wajah Indonesia baru dalam beberapa tahun mendatang, proses desentralisasi dan perwujudan otonomi daerah yang luas merupakan salah satu faktor yang hampir pasti akan ikut membentuk wajah tersebut. Dengan demikian, dapat diperkirakan akan terjadinya pergeseran besar-besaran dalam tata kehidupan masyarakat, dari tata kehidupan yang bersifat sentralistik ke sifat desentralistik, dari kecenderungan serba seragam ke warna warni lokal yang plural, dari paradigma negara kesatuan ke negara kuasi federal. Dalam operasionalisasinya, proses pergeseran tersebut memerlukan penjabaran yang rumit dan kompromi-kompromi yang alot dari beragam kepentingan yang terlibat. Hal inilah yang antara lain menimbulkan suasana serba tak pasti dan gamang sebagaimana tampak khususnya di kalangan birokrasi pemerintah.
Proses pergeseran yang dimaksud antara lain juga akan terjadi dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, apakah pergeseran ke arah otonomi daerah itu dapat dimanfaatkan untuk sekaligus memecahkan masalah-masalah yang selama ini dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya air ? Apakah UU No 22 tahun 1999 memberi landasan hukum yang memadai untuk upaya tersebut ? Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan yang terangkat dari pertanyaan tersebut guna membantu terselenggaranya upaya perwujudan otonomi daerah yang sekaligus mendukung penyempurnaan pengelolaan sumberdaya air.
Makna Otonomi Daerah Bagi Pengelolaan Sumberdaya Air
Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya disambut positif dan didukung banyak pihak. Disamping merupakan amanat konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan yang semakin mendesak dan menjadi jalan keluar bagi tantangan yang akan sulit diatasi jika penyelenggaraan kehidupan berbegara tetap dalam sistem yang sentralistik. Terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi ; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab bersama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Pengalaman dalam mengupayakan otonomi daerah selama ini menunjukkan alotnya proses yang berlangsung guna mewujudkan otonomi daerah. Faktor utama penyebabnya adalah keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan ke daerah dengan berbagai alasan, antara lain keraguan akan kemampuan daerah, kekhawatiran akan berpindahnya masalah-masalah pusat ke daerah dan sebagainya. Disamping keengganan, pemerintah pusat terkesan sangat berhati-hati dalam mendorong otonomi daerah. Ini dapat dibaca dari pesan yang senantiasa melekat dalam mengupayakan otonomi daerah, misalnya lewat ungkapan-ungkapan seperti otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, otonomi diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan sebagainya.
Keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan dalam rangka otonomi daerah bisa jadi bersumber pada faktor yang bersifat politis bahwa pusat tidak rela kehilangan kontrol dan kepentingannya terhadap daerah. Faktor demikian terbukti dapat ditandingi dengan ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri sehingga muncul dorongan yang kuat untuk segera mewujudkan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU No 22 tahun 1999. Hal yang tampaknya kurang disadari dalam kegairahan menyambut otonomi daerah yang luas ini adalah bahwa otonomi daerah dalam beberapa bidang urusan tertentu dapat justru menimbulkan kerugian disamping keuntungan sebagaimana secara umum telah dikemukakan. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam pengelolaan sumberdaya air.
Keuntungan dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyelenggaraan otonomi daerah bagi pengelolaan sumberdaya air dapat dijelaskan dengan mengembalikan makna otonomi daerah sebagai penerapan azas desentralisasi. Seperti telah dikemukakan, desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat seperti mempermudah dan mempercepat penyelesaian masalah dan tantangan yang muncul secara lokal, mengurangi beban persoalan di pusat dan memperluas partisipasi bagi masyarakat lokal dan daerah. Setiap manfaat tersebut memiliki kondisi atau persyaratan-persyaratan tertentu agar dapat diperoleh melalui upaya desentralisasi. Persoalannya adalah apakah pengelolaan sumberdaya air menyediakan persyaratan yang dimaksud ? Satu misal adalah persyaratan bagi manfaat pertama, desentralisasi akan mampu memberikan manfaat tersebut bila masalah dan tantangan lokal sulit diramalkan dan heterogen sifatnya. Bila masalah yang muncul umumnya telah dapat diduga dan dapat dibuat rumusan secara umum, desentralisasi tak banyak gunanya karena keputusan dapat ditentukan secara terpusat dan dibakukan. Dengan mengidentifikasi dan menganalisa persyaratan-persyaratan untuk setiap manfaat yang diharapkan dari desentralisasi, akan bisa diidentifikasi hal-hal apa dalam pengelolaan sumberdaya air yang dapat memetik keuntungan dari desentralisasi.
Di pihak lain, perlu disadari beberapa kerugian yang dapat muncul dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya air. Desentralisasi dapat mendatangkan tiga bentuk kerugian, yakni mengurangi eksternalitas positif dan meningkatkan eksternalitas negatif; meningkatkan biaya artikulasi dan mengurangi keuntungan internal. Eksternalitas yang dimaksud merupakan dampak atau akibat tidak langsung yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumberdaya air terhadap lingkungan secara keseluruhan. Eksternalitas pengelolaan sumberdaya air dapat bersifat positif misalnya dalam bentuk dukungan bagi perkembangan ekonomi masyarakat, tingkat kesehatan rata-rata masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya air dalam bentuk otonomi daerah akan dapat mengurangi eksternalitas tersebut bila kepentingan masing-masing daerah tidak bisa saling dipertemukan untuk memaksimalkan nilai kegunaan sumberdaya air yang tersedia guna mendukung perkembangan ekonomi, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, eksternalitas negatif yang timbul akibat degradasi sumberdaya air menjadi semakin sulit ditanggulangi dalam sistem pengelolaan yang terdesentralisasi.
Artikulasi merupakan proses yang menghubungkan tindakan unit yang satu dengan tindakan dari unit-unit lainnya (Benveniste, 1989:230). Desentralisasi akan meningkatkan biaya artikulasi dalam arti akan lebih banyak waktu, energi serta biaya yang diperlukan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian yang masing-masing memiliki otonomi. Pemborosan dapat terjadi bila terdapat duplikasi dalam pelayanan. Selain itu, konflik antar bagian lebih mudah terjadi. Dalam pengelolaan sumberdaya air, biaya artikulasi akan menjadi tinggi untuk menangani urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, seperti pengamanan catchment area, penanggulangan erosi, penyusunan rencana tata pengaturan air dalam satu sungai yang melintasi dua atau lebih daerah otonom dan sebagainya.
Keuntungan internal dapat diperoleh oleh kesatuan sistem pengelolaan, misalnya pembangunan suatu sistem jaringan irigasi akan membutuhkan satuan wilayah tertentu yang secara minimal memenuhi skala ekonomi yang dibutuhkan sehingga tercapai efisiensi biaya. Desentralisasi yang mengabaikan prinsip ini akan berdampak pada pengurangan atau hilangnya keuntungan internal yang seharusnya dapat diperoleh. Bentuk keuntungan internal lain adalah standardisasi dan simplifikasi norma-norma adminsitratif yang tidak perlu dihilangkan karena alasan desentralisasi.
Desentralisasi atau Sentralisasi ?
Pengalaman dalam mengupayakan otonomi daerah selama ini menunjukkan alotnya proses yang berlangsung guna mewujudkan otonomi daerah. Faktor utama penyebabnya adalah keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan ke daerah dengan berbagai alasan, antara lain keraguan akan kemampuan daerah, kekhawatiran akan berpindahnya masalah-masalah pusat ke daerah dan sebagainya. Disamping keengganan, pemerintah pusat terkesan sangat berhati-hati dalam mendorong otonomi daerah. Ini dapat dibaca dari pesan yang senantiasa melekat dalam mengupayakan otonomi daerah, misalnya lewat ungkapan-ungkapan seperti otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, otonomi diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan sebagainya.
Keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan dalam rangka otonomi daerah bisa jadi bersumber pada faktor yang bersifat politis bahwa pusat tidak rela kehilangan kontrol dan kepentingannya terhadap daerah. Faktor demikian terbukti dapat ditandingi dengan ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri sehingga muncul dorongan yang kuat untuk segera mewujudkan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU No 22 tahun 1999. Hal yang tampaknya kurang disadari dalam kegairahan menyambut otonomi daerah yang luas ini adalah bahwa otonomi daerah dalam beberapa bidang urusan tertentu dapat justru menimbulkan kerugian disamping keuntungan sebagaimana secara umum telah dikemukakan. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam pengelolaan sumberdaya air.
Keuntungan dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyelenggaraan otonomi daerah bagi pengelolaan sumberdaya air dapat dijelaskan dengan mengembalikan makna otonomi daerah sebagai penerapan azas desentralisasi. Seperti telah dikemukakan, desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat seperti mempermudah dan mempercepat penyelesaian masalah dan tantangan yang muncul secara lokal, mengurangi beban persoalan di pusat dan memperluas partisipasi bagi masyarakat lokal dan daerah. Setiap manfaat tersebut memiliki kondisi atau persyaratan-persyaratan tertentu agar dapat diperoleh melalui upaya desentralisasi. Persoalannya adalah apakah pengelolaan sumberdaya air menyediakan persyaratan yang dimaksud ? Satu misal adalah persyaratan bagi manfaat pertama, desentralisasi akan mampu memberikan manfaat tersebut bila masalah dan tantangan lokal sulit diramalkan dan heterogen sifatnya. Bila masalah yang muncul umumnya telah dapat diduga dan dapat dibuat rumusan secara umum, desentralisasi tak banyak gunanya karena keputusan dapat ditentukan secara terpusat dan dibakukan. Dengan mengidentifikasi dan menganalisa persyaratan-persyaratan untuk setiap manfaat yang diharapkan dari desentralisasi, akan bisa diidentifikasi hal-hal apa dalam pengelolaan sumberdaya air yang dapat memetik keuntungan dari desentralisasi.
Di pihak lain, perlu disadari beberapa kerugian yang dapat muncul dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya air. Desentralisasi dapat mendatangkan tiga bentuk kerugian, yakni mengurangi eksternalitas positif dan meningkatkan eksternalitas negatif; meningkatkan biaya artikulasi dan mengurangi keuntungan internal. Eksternalitas yang dimaksud merupakan dampak atau akibat tidak langsung yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumberdaya air terhadap lingkungan secara keseluruhan. Eksternalitas pengelolaan sumberdaya air dapat bersifat positif misalnya dalam bentuk dukungan bagi perkembangan ekonomi masyarakat, tingkat kesehatan rata-rata masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya air dalam bentuk otonomi daerah akan dapat mengurangi eksternalitas tersebut bila kepentingan masing-masing daerah tidak bisa saling dipertemukan untuk memaksimalkan nilai kegunaan sumberdaya air yang tersedia guna mendukung perkembangan ekonomi, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, eksternalitas negatif yang timbul akibat degradasi sumberdaya air menjadi semakin sulit ditanggulangi dalam sistem pengelolaan yang terdesentralisasi.
Artikulasi merupakan proses yang menghubungkan tindakan unit yang satu dengan tindakan dari unit-unit lainnya (Benveniste, 1989:230). Desentralisasi akan meningkatkan biaya artikulasi dalam arti akan lebih banyak waktu, energi serta biaya yang diperlukan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian yang masing-masing memiliki otonomi. Pemborosan dapat terjadi bila terdapat duplikasi dalam pelayanan. Selain itu, konflik antar bagian lebih mudah terjadi. Dalam pengelolaan sumberdaya air, biaya artikulasi akan menjadi tinggi untuk menangani urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, seperti pengamanan catchment area, penanggulangan erosi, penyusunan rencana tata pengaturan air dalam satu sungai yang melintasi dua atau lebih daerah otonom dan sebagainya.
Keuntungan internal dapat diperoleh oleh kesatuan sistem pengelolaan, misalnya pembangunan suatu sistem jaringan irigasi akan membutuhkan satuan wilayah tertentu yang secara minimal memenuhi skala ekonomi yang dibutuhkan sehingga tercapai efisiensi biaya. Desentralisasi yang mengabaikan prinsip ini akan berdampak pada pengurangan atau hilangnya keuntungan internal yang seharusnya dapat diperoleh. Bentuk keuntungan internal lain adalah standardisasi dan simplifikasi norma-norma adminsitratif yang tidak perlu dihilangkan karena alasan desentralisasi.
Desentralisasi atau Sentralisasi ?
Dengan mencermati segi-segi menguntungkan dan merugikan dari proses desentralisasi, menjadi jelas bahwa tidak semua hal dalam pengelolaan sumberdaya air yang akan menjadi lebih baik bila dikelola secara terdesentralisasi. Secara teoritis, sentralisasi dan desentraalisasi memang berada dalam suatu kontinum (Benveniste, 1989: 234). Disamping itu terdapat kondisi dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memetik keuntungan dari masing-masing pilihan tersebut. Sentralisasi dalam hal ini dapat berarti terpusat di tingkat nasional atau dalam satu Satuan Wilayah Sungai (SWS). Sementara desentralisasi berarti menyerahkan sebagian kewenangan ke tingkat daerah otonom, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota. Dalam Tabel 1 dicoba diidentifikasi hal-hal dalam pengelolaan sumberdaya air yang cocok untuk sentralisasi dan desentralisasi, misalnya dalam kasus pengelolaan sungai dan sistem irigasi.
Peluang, Ancaman dan Tantangan
Dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek urusan yang cocok untuk didesentralisasi, ada dua peluang yang memberi harapan untuk menemukan jalan keluar bagi permasalahan pengelolaan sumberdaya air.
Pertama, desentralisasi akan memungkinkan terpenuhinya biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&P) untuk pendaya-gunaan sumberdaya air dalam jumlah yang lebih memadai dan berkorelasi langsung dengan tingkat pelayanan yang diberikan. Contoh paling jelas untuk peluang ini adalah desentralisasi pengelolaan jaringan irigasi, baik dengan menyerahkan semua urusa pengelolaan jaringan irigasi ke para petani pemakai air (P3A) maupun dinas pengairan di daerah otonom. Langkah desentralisasi ini sudah dimulai sejak menjelang akhir tahun 1980-an tetapi masih banyak menghadapi hambatan. Hambatan yang muncul kebanyakan disebabkan karena terlalu terpaku pada proses persiapan dan pelaksanaan penyerahan kewenangan. Pada hal disamping hambatan tersebut, sebenarnya sudah menunggu ancaman dari periode pasca penyerahan berupa kegagalan lembaga pengelola untuk menjalankan otonominya dalam pengelolaan jaringan irigasi.
Kedua, desentralisasi akan meningkatkan efektivitas pengelolaan di tingkat lokal melalui fleksibelitas yang lebih besar bagi pihak pengelola lokal untuk menyesuaikan bentuk kelembagaan maupun fungsinya dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Dalam kasus pengelolaan jaringan irigasi, kebebasan untuk menemukan bentuk dan fungsi kelembagaan P3A sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal akan menghilangkan kekakuan aturan pusat yang merupakan salah satu sumber kegagalan berfungsinya lembaga pengelola lokal selama ini.
Dua peluang tersebut merupakan peluang pokok yang jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan memunculkan peluang-peluang ikutan lainnya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Terpenuhinya biaya O&P secara memadai misalnya akan memecahkan kendala keterbatasan pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sehingga pada gilirannya akan menjamin kelangsungan pelayanan air bagi berbagai jenis penggunaan. Eksternalitas positif akan dengan sendirinya muncul dari peningkatan pelayanan air tersebut. Begitu juga, efektivitas kelembagaan pengelola sumberdaya air di tingkat lokal akan berdampak pada perbaikan pelayanan air dan menjamin kelansungannya.
Disamping peluang, terdapat ancaman yang secara potensial akan muncul oleh proses desentralisasi. Seperti telah disinggung di muka, ancaman yang dimaksud pada dasarnya muncul dari kegagalan menaggulangi sejumlah kerugian yang timbul karena proses desentralisasi. Ancaman pertama akan muncul dalam bentuk beban pembiayaan lebih berat dan melampaui proporsi yang harus dipikul oleh masyarakat pengguna air di lokasi setempat. Ancaman ini muncul oleh orientasi berlebihan pemerintah daerah otonom setempat untuk menghimpun sumber-sumber pembiayaan Pendapatan Asli daerah (PAD) agar mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Meningkatnya beban pembiayaan sejauh dimanfaatkan hanya dalam rangka otonomi pengelolaan sumberdaya air dapat dipahami dan diterima secara wajar. Tetapi dalam praktek dapat terjadi hilangnya korelasi langsung antara beban yang dipungut dan tingkat pelayanan yang diberikan karena pemanfaatan untuk hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air. Orientasi semacam ini bisa dihilangkan jika proses artikulasi dalam sistem pengelolaan secara utuh dapat berjalan efektif sehingga tindakan yang bersifat sepihak oleh pemerintah daerah otonom dapat diimbangi oleh reaksi berlawanan dari bagian lain yang akan dirugikan.
Ancaman ke dua adalah meningkatnya konflik antar daerah otonom, khususnya untuk sumberdaya air yang pengelolaannya bersifat lintas daerah. Hal ini bisa dipahami mengingat perbedaan kepentingan atau preferensi antar daerah yang dapat meruncing karena didukung oleh menguatnya basis kewenangan masing-masing. Kunci untuk mengurangi potensi konflik ini adalah membatasi kewenangan masing-masing daerah untuk hal-hal yang bersifat lintas daerah. Dengan kata lain, dalam hal-hal semacam itu, sentralisasi di tingkat SWS akan lebih bermanfaat dibanding desentralisasi.
Ancaman ketiga akan timbul dari kegagalan menindak-lanjuti proses desentralisasi atau dengan kata lain mengisi otonomi daerah dengan praktek pengolaan yang sesuai dengan porsi kewenangan yang telah diterima. Jika kegagalan ini terjadi hasil yang dipetik akan merupakan back fire yang akan semakin memerosotkan kinerja pengelolaan sumberdaya air dengan segala akibatnya. Selain persiapan yang matang tetapi juga tidak menjebak dalam kerumitan-kerumitan baru, perhatian yang besar harus diarahkan pada upaya-upaya penanggulangan masalah pada periode pasca penyerahan kewenangan.
Berdasar tinjauan terhadap peluang dan ancaman di atas, dapat diidentifikasi tantangan-tantangan yang harus ditanggulangi agar proses desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah dapat memberikan makna yang produktif untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Pertama, pemetaan masalah secara komprehensif dan rinci untuk memperoleh gambaran sejelas-jelasnya hal-hal apa yang darus didesentralisasi dan apa yang tetap harus dipertahanakan secara terpusat pada tingkat yang mana sebagai dasar konsepsional penyelenggaraan otonomi daerah yang meyangkut pengelolaan sumberdaya air. Kedua, sosialisasi dan pendekatan ke pihak-pihak terkait (stakeholder) untuk memproses lahirnya komitmen yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang kondusif dan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Ketiga, merumuskan strategi dan program-program yang berkesinambungan untuk mewujudkan komitmen-komitmen yang diperoleh di tengah proses persiapan dan penyelenggaraan otnomi daerah yang kini dilakukan oleh berbagai pihak. Ke empat adalah segera terjun dalam tindakan praktis untuk mengupayakan perwujudan otonomi daerah sesuai konsep, strategi dan program yang telah dipersiapkan. Untuk mendukung semua upaya dalam rangka menjawab tantangan tersebut secara internal perlu digalang komunikasi dan kerjasama yang produktif dikalangan para penggiat, pemerhati dan mereka yang memiliki kepedulian terhadap masalah sumberdaya air.
Pertama, desentralisasi akan memungkinkan terpenuhinya biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&P) untuk pendaya-gunaan sumberdaya air dalam jumlah yang lebih memadai dan berkorelasi langsung dengan tingkat pelayanan yang diberikan. Contoh paling jelas untuk peluang ini adalah desentralisasi pengelolaan jaringan irigasi, baik dengan menyerahkan semua urusa pengelolaan jaringan irigasi ke para petani pemakai air (P3A) maupun dinas pengairan di daerah otonom. Langkah desentralisasi ini sudah dimulai sejak menjelang akhir tahun 1980-an tetapi masih banyak menghadapi hambatan. Hambatan yang muncul kebanyakan disebabkan karena terlalu terpaku pada proses persiapan dan pelaksanaan penyerahan kewenangan. Pada hal disamping hambatan tersebut, sebenarnya sudah menunggu ancaman dari periode pasca penyerahan berupa kegagalan lembaga pengelola untuk menjalankan otonominya dalam pengelolaan jaringan irigasi.
Kedua, desentralisasi akan meningkatkan efektivitas pengelolaan di tingkat lokal melalui fleksibelitas yang lebih besar bagi pihak pengelola lokal untuk menyesuaikan bentuk kelembagaan maupun fungsinya dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Dalam kasus pengelolaan jaringan irigasi, kebebasan untuk menemukan bentuk dan fungsi kelembagaan P3A sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal akan menghilangkan kekakuan aturan pusat yang merupakan salah satu sumber kegagalan berfungsinya lembaga pengelola lokal selama ini.
Dua peluang tersebut merupakan peluang pokok yang jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan memunculkan peluang-peluang ikutan lainnya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Terpenuhinya biaya O&P secara memadai misalnya akan memecahkan kendala keterbatasan pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sehingga pada gilirannya akan menjamin kelangsungan pelayanan air bagi berbagai jenis penggunaan. Eksternalitas positif akan dengan sendirinya muncul dari peningkatan pelayanan air tersebut. Begitu juga, efektivitas kelembagaan pengelola sumberdaya air di tingkat lokal akan berdampak pada perbaikan pelayanan air dan menjamin kelansungannya.
Disamping peluang, terdapat ancaman yang secara potensial akan muncul oleh proses desentralisasi. Seperti telah disinggung di muka, ancaman yang dimaksud pada dasarnya muncul dari kegagalan menaggulangi sejumlah kerugian yang timbul karena proses desentralisasi. Ancaman pertama akan muncul dalam bentuk beban pembiayaan lebih berat dan melampaui proporsi yang harus dipikul oleh masyarakat pengguna air di lokasi setempat. Ancaman ini muncul oleh orientasi berlebihan pemerintah daerah otonom setempat untuk menghimpun sumber-sumber pembiayaan Pendapatan Asli daerah (PAD) agar mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Meningkatnya beban pembiayaan sejauh dimanfaatkan hanya dalam rangka otonomi pengelolaan sumberdaya air dapat dipahami dan diterima secara wajar. Tetapi dalam praktek dapat terjadi hilangnya korelasi langsung antara beban yang dipungut dan tingkat pelayanan yang diberikan karena pemanfaatan untuk hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air. Orientasi semacam ini bisa dihilangkan jika proses artikulasi dalam sistem pengelolaan secara utuh dapat berjalan efektif sehingga tindakan yang bersifat sepihak oleh pemerintah daerah otonom dapat diimbangi oleh reaksi berlawanan dari bagian lain yang akan dirugikan.
Ancaman ke dua adalah meningkatnya konflik antar daerah otonom, khususnya untuk sumberdaya air yang pengelolaannya bersifat lintas daerah. Hal ini bisa dipahami mengingat perbedaan kepentingan atau preferensi antar daerah yang dapat meruncing karena didukung oleh menguatnya basis kewenangan masing-masing. Kunci untuk mengurangi potensi konflik ini adalah membatasi kewenangan masing-masing daerah untuk hal-hal yang bersifat lintas daerah. Dengan kata lain, dalam hal-hal semacam itu, sentralisasi di tingkat SWS akan lebih bermanfaat dibanding desentralisasi.
Ancaman ketiga akan timbul dari kegagalan menindak-lanjuti proses desentralisasi atau dengan kata lain mengisi otonomi daerah dengan praktek pengolaan yang sesuai dengan porsi kewenangan yang telah diterima. Jika kegagalan ini terjadi hasil yang dipetik akan merupakan back fire yang akan semakin memerosotkan kinerja pengelolaan sumberdaya air dengan segala akibatnya. Selain persiapan yang matang tetapi juga tidak menjebak dalam kerumitan-kerumitan baru, perhatian yang besar harus diarahkan pada upaya-upaya penanggulangan masalah pada periode pasca penyerahan kewenangan.
Berdasar tinjauan terhadap peluang dan ancaman di atas, dapat diidentifikasi tantangan-tantangan yang harus ditanggulangi agar proses desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah dapat memberikan makna yang produktif untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Pertama, pemetaan masalah secara komprehensif dan rinci untuk memperoleh gambaran sejelas-jelasnya hal-hal apa yang darus didesentralisasi dan apa yang tetap harus dipertahanakan secara terpusat pada tingkat yang mana sebagai dasar konsepsional penyelenggaraan otonomi daerah yang meyangkut pengelolaan sumberdaya air. Kedua, sosialisasi dan pendekatan ke pihak-pihak terkait (stakeholder) untuk memproses lahirnya komitmen yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang kondusif dan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Ketiga, merumuskan strategi dan program-program yang berkesinambungan untuk mewujudkan komitmen-komitmen yang diperoleh di tengah proses persiapan dan penyelenggaraan otnomi daerah yang kini dilakukan oleh berbagai pihak. Ke empat adalah segera terjun dalam tindakan praktis untuk mengupayakan perwujudan otonomi daerah sesuai konsep, strategi dan program yang telah dipersiapkan. Untuk mendukung semua upaya dalam rangka menjawab tantangan tersebut secara internal perlu digalang komunikasi dan kerjasama yang produktif dikalangan para penggiat, pemerhati dan mereka yang memiliki kepedulian terhadap masalah sumberdaya air.
Sumber:
- youtube.com
-images.soemarno.multiply.com
-http://psdal.lp3es.or.id